Kamis, 07 Juli 2011

Sebuah Perbandingan Kultural Sederhana

http://beasiswabelajar.com/wp-content/uploads/2010/06/Pemerintah-Provinsi-Jambi.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNiNYnAaHgvHQCgYUALHPfDa6yO00-zlBzTkvrdgLb2oQmW5GDO0IBJ4mJluqtHQ0sFDsd_UwSgPpQubC8lILl8SlN0CnZ53Lz7UaV1vCvaR9KQ4tnERXihwMIYBqbrX2kXhLC87v67O8/s400/Lambang-Yogya1.jpgDalam artikel ini, saya mencoba menulis sisi positif masyarakat Yogyakarta beberapa pengetahuan dan pengalaman saya. Andai dilontarkan pertanyaan kepada saya: apa semua budaya masyarakat Yogyakarta baik? Tentu saja “tidak”. Banyak budaya masyarakat Yogyakarta yang tidak patut kita contoh. Dan dalam hal ini, saya mencoba menulis beberapa sisi positif saja.
        Tujuannya, hanya sebagai bahan in
trospeksi, pembelajaran, dan tolok ukur di tengah-tengah budaya dan tradisi yang berkembang di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Selain itu, bisa juga menjadi jalan terang untuk kita ketika pertama kali ke Yogyakarta.
        Beberapa sisi positif budaya masyarakat Yogyakarta yang sempat terekam oleh memori saya, adalah:
        Kerja Keras
        Sudah sangat dikenal masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jambi, bahwa orang Jawa dikategorikan sebagai ‘pekerja keras’, termasuk masyarakat Yogyakarta. Hal itu salah satunya terlihat ketika banyak orang-orang yang memiliki pohon karet di Jambi lebih memilih memperkerjakan orang Jawa dibandingkan orang asli Jambi. Orang jawa memiliki kemampuan bekerja yang lebih baik, ulet, cepat, dan mampu memperoleh hasil yang maksimal, sedangkan ada beberapa orang Jambi, selain kerjanya terkesan lambat dan malas, ia juga memiliki budaya mengambil barang dan uang sebanyak-banyaknya, sebelum ia meneteskan keringat buat si empunya.
        Ironisnya, penyakit ini mewabah di tengah masyarakat Jambi. Sampai saat ini belum ditemukan cara penyembuhan dan penanganannya. Solusinya: memahami dan menerapkan de
ngan sungguh-sungguh apa yang dikatakan motivator atau inspirator, yakni memumbuhkan dalam diri kita benih-benih budaya kerja keras dan melahirkan kecintaan pada setiap pekerjaan yang kita geluti.
        Bukti lain bahwa orang Jawa pekerja keras adalah banyakya saudagar kaya di Jambi, khususnya di Kabupaten Tebo, ternyata berdarah Jawa. Sektor pertanian, perdagangan, sampai politik hampir semua sudah diisi orang-orang Jawa. Jika keadaan tersebut dibiarkan berlarut-larut, saya khawatir akan terjadi etnosentrisme karena kecemburuan sosial, seperti yang terjadi di Kalimantan Barat yaitu antara suku asli, Dayak, dengan suku pendatang, Madura, dan juga baru-baru ini yang terjadi Di Tarakan (Kalimantan Timur), yang akhirnya melahirkan pertumpahan darah antara kedua kubu.
        Jadi anekdot yang selama ini beredar di kalangan masyarakat Jambi memang ada benarnya. Kalau orang Jambi ditanya ndak kemano kau? Jawabnya mesti satuidaklah atau dak lah. Orang Padang, kalau ditanya indak kama uda/uni? Jawabnya indak bagale. Sedangkan kalau orang Jawa ditanya nengdi kowe? Jawabnya adalah gole’ kerjo.
        Santun Dan Lemah Lembut
        Santun dan lemah lembut merupakan ciri khas yang sangat kental pada masyarakat Yogyakarta. Budaya ini sudah ada sejak leluhur nenek moyang mereka dan masih dipertahankan sampai pada saat ini. Salah satu alasannya kenapa Yogyakarta menjadi ‘kota pelajar’ dan menjadi tujuan wisata masyarakat nusantara dan mancanegara adalah karena sifat santun masyarakat Yogyakarta. Dengan demikian, sekali pun seseorang terbiasa dengan perilaku keras dan bicara asal bablas di daerah asalnya, namun ketika sampai di Yogyakarta ia akan ikut terpengaruh dengan perilaku masyarakat Yogyakarta yang santun dan lemah lembut. Maka tidak heran bila Yogyakarta pun seakan-akan menjadi ikon dan miniatur nusantara sebagai tujuan pendidikan dan wisata.
        Sikap santun dan lemah lembut bisa kita lihat terutama ketika kita baru pertama kali menginjak kaki di Jogja atau menjadi mahasiswa baru. Sekalipun mereka belum mengenali kita, mereka dengan indah menghadiahkan senyuman, menanyakan asal daerah serta nama kita. Walaupun kita baru pertama kali ke Yogyakarta, tapi kita sudah merasakan keakraban bersama mereka.
        Loyalitas
        Loyalitas masyarakat Yogyakarta yaitu tetap merawat dengan baik kesetiaan dan kepatuhanya terhadap norma-norma adat yang berlaku serta tidak memiliki sifat etnosentrisme dan bercita-cita besar menjadikan Yogyakarta sebagai Indonesia Education Centre (IEC). Ini membuat tingkat pendidikan masyarakat Jambi tertinggal jauh.
        Berbeda sekali dengan Jambi, loyalitas masyarakat sudah hampir tidak bisa ditemukan lagi. Gerakan pamerintah Jambi memajukan pendidikan sehingga meningkat secara kualitas dan kuantitas masih kurang. Akibatnya, Jambi menjadi salah satu provinsi yang tertinggal dari provinsi-provinsi lain, padahal sumber daya alam yang kita miliki tidak kalah dahsyatnya dengan yang dimiliki provinsi lain. Provinsi kita juga menyimpan potensi serta prospek yang baik untuk bisa diwujudkan dan dikembangkan.
        Jaga Tradisi
        Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak membuat masyarakat Yogyakarta kehilangan tradisi dan budayanya. Masyarakat Yogyakarta selalu ingin menjaga tradisinya. Pada polemik baru-baru ini, ketika monarki Yogyakarta hendak diganti jadi demokrasi, secara serentak masyarakat Yogyakarta menggugat. Mereka khawatir kalau-kalau pemerintahan yang baru nantinya bakal tidak peduli, mengisolasi, dan memusnahkan tradisi dan budaya mereka.
        Lalu, bagaimana dengan Jambi? Sebagi contoh kecil dan terdekat, saya kembali berkaca pada desa saya. Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, begitu banyak di antara para pemudi di kampung saya yang menggunakan kain sarung dan baju tertutup rapi saat berjalan, sedangkan kini kain sarung dimusnahkan, pakaian serba minim dikedepankan.
        Budaya Baca Tinggi
        Kelahiran benih-benih budaya membaca dan munculnya bercak-bercak kegemaran menulis dalam diri saya berawal ketika saya mulai menginjakkan kaki di Yogyakarta. Setelah sampai di Yogyakarta, saya mengenal Books Fair (pameran buku). Di Jogja saya juga mengenal Taman Pintar yang memanjakan pengunjungnya dengan buku-buku murah dan terjangkau.
        Sementara itu, selama saya hidup di Jambi, lebih-kurang 17 tahun, bahkan sekali pun saya tidak pernah mendengar istilah Books Fair. Jika ada toko-toko buku, itu juga menyuguhkan buku dengan harga sangat fantastis serta sulit dijangkau oleh kalangan pelajar dan mahasiswa.
        Budaya membaca ini akhirnya menglahirkan mahasiswa yang kritis dan kreatif. Tidak heran bila begitu banyak kafe-kafe atau warung kopi di Yogyakarta yang dipenuhi oleh mahasiswa untuk paling tidak sekedar kumpul-kumpul sesama etnis, membahas organisasi atau pelajaran, membedah buku, atau diskusi tentang sejarah sampai fenomena yang masih hangat terjadi di Indonesia, bahkan di dunia internasional.
        Berpikir Lebih Maju
        Masyarakat Yogyakarta sekali pun mereka tinggal di desa atau kurang mengenyam pendidikan, tetapi mereka tetap bisa berpikiran madani dan tidak kalah tertinggal dengan penduduk kota yang lebih berpendidikan. Saya menyaksikan sendiri seorang pemilik warung makanan berbicara dan berpikiran seperti seorang mahasiswa pada idealnya. Ketika saya bertanya, “Ibu dulu kuliah di mana?” Ia menjawab, “Ibu tidak pernah kuliah. Ibu hanya tamat SMP”.
        Komitmen Tinggi Untuk Masa Depan
        Saat liburan kuliah, saya diajak oleh Edy Kurniawan, kakak tingkat saya di MAN Model Jambi yang kini tengah kuliah di Jurusan Bahasa Inggris Universitas Ahmad Dahlan (UAD), untuk mengunjungi desa di mana temannya tinggal. Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, kami sampai di desa tersebut. Kami disambut hangat dan akrab.
        Pada malam harinya, sehabis shalat isya, saya ikut berbincang bersama orang tua dari teman Edy Kurniawan. Dalam perbincangan tersebut, beliau menanyakan,

        “Orang tuamu di Jambi kerja apa?”

        “Petani karet, Pak!”

        “Lah, kebetulan itu. Nanti kalau bapak sudah pensiun, bapak mau ikut ke sana saja menjadi penyadap karet atau mungkin sekalian saja bertani karet di sana.”

        “Memang berapa lama lagi, Pak?”

        “Sekarang bapak dan ibu masih PNS. Paling tidak sekitar 6 sampai 7 tahun lagi lah!”

        Saya menimpali perkataannya hanya dengan “Oooh!” sambil berpikir bahwa 6-7 tahun adalah waktu yang masih sangat jauh, tetapi kenapa beliau sudah berpikiran demikian.

        Kejadian ini memang belum bisa sepenuhnya menunjukkan bahwa bapak tersebut berkomitmen tinggi untuk masa depan. Akan tetapi, cara berpikirnya lebih maju dan lebih baik daripada rata-rata orang Jambi.

        Jangankan berpikir untuk 6-7 tahun ke depan seperti bapak itu, setelah punya uang atau anggaran sekitar sebulan, bahkan seminggu saja, mayoritas masyarakat Jambi sudah goyang-goyang kaki di rumah. Ketika uang habis, mereka sibuk kerja kembali, padahal pada saat-saat seperti ini uang mereka sudah ludes. Akhirnya, gali lubang tutup lubang tak bisa dihindarkan.
          Oleh: Riyadus Solihin*
        *Mahasiswa STIKES UNRIYO, Sekretaris Kamanjayo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar