Kamis, 07 Juli 2011

Bisnis “Minta Tolong”*

http://stat.kompasiana.com/files/2010/10/mt.jpgKemarin sore saya menonton acara reality show di salah satu stasiun televisi swasta. Acara “Minta Tolong” tepatnya. Setelah itu, di benak saya muncul pertanyaan.

        Pemeran utama cara “Minta Tolong” adalah anak miskin. Ia minta pertolong
an kepada orang miskin pula. Pertanyaan saya, mengapa yang ditolong harus orang miskin dan yang menolong orang miskin pula? Mengapa tak orang kaya saja yang menjadi penolongnya? Dalam hati saya menjawab: pasti untuk membius penonton dengan moral atau empati publik. Dan strategi ini amat sangat mendatangkan untung.

        Bahkan pada banyak reality show lainnya, bukan kemiskinan saja yang menjadi lahan eksploitasi, lantunan ayat-ayat suci agama pun menjadi senjata bisnis yang sangat menguntungkan bagi industri media. Konsumtivisme agama semacam itu dengan genre-genre baru yang memukau dapat mendatangkan untung besar.

        Begitulah, bagi industri media dewasa ini—yang kian hari kian tak mengenal etika—ukuran moral dilihat dari kaca mata binis. Meski demikian, karena terbuai oleh rayuan iklan, masyarakat tetap saja mengaminkan dan menonton beragam acara televisi yang diproduksi hanya demi kepentingan bisnis belaka. Hal ini melahirkan legitimasi kolektif terhadap industri media yang memperalat empati publik dan agama, sekaligus melahirkan identitas kolektif yang homogen. Jika tak mengikuti identitas kolektif a
tau mayoritas tersebut, kita dianggap ketinggalan jaman.

        Saya menganalogikan fenomena ini dengan identitas kolektif sebuah sekte agama Islam. Seorang muslim atau sekelompok minoritas muslim yang menginterpretasi al-Quran diluar “standar kolektif”, pasti dicap kafir oleh sekte tersebut.


        Teori Diskursus

        Kembali pada inti pembahasan, yakni mengenai media yang hanya berbicara keuntungan semata. Saya teringat pertanyaan yang dilontarkan Agus Sudibyo dalam Majalah Prisma edisi Senjakala Kapitalisme dan Krisis Demokrasi. Bagaimana hubungan antara media dan masyarakat? Apa masyarakat hanya cukup menjadi penonton pasif bagi industri media? Apa benar hubungan media dan masyarakat sekadar hubungan produsen dan konsumen? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat urgen dijawab oleh kita semua di tengah kedangkalan diskursus mengenai relasi antara media dan masyarakat saat ini.

        Teori duskursus Habermas tentang komunikasi publik yang terdedah dalam bukunya The Theory of Communicative Action, cukup relevan menjawab pertayaan-pertanyaan diatas. Habermas memandang bahwa evolusi sosial pada klimaksnya akan melahirkan diferensiasi sosial. Masyarakat (society) terbelah menjadi dua entitas substantif, yaitu sistem (system) dan duniakehidupan (worldlife).

        Dunia kehidupan adalah kepercayaan, keyakinan moral, dan pandangan dunia yang mendasari proses komunikasi yang setara, demokratis, dan tanpa distorsi. Rasionalitas duniakehidupan adalah rasionalitas komunikatif. Rasionalitas komunikatif memungkinkan tiap individu saling berinteraksi dan berkomunikasi dengan jujur, tidak mengakali atau memperalat yang lain. Karena rasionalitas komunikatif ini, komunikasi sehari-hari antarindividu menjadi bebas dari dominasi, manipulasi, pembodohan, indoktrinasi, ideologisasi, politisasi, marketisasi, dan bentuk-bentuk distorsi komunikasi lainnya. Dalam dan melalui dunia kehidupan, tumbuhlah kedewasaan emosional tiap individu.

        Sistem adalah pelbagai institusi yang mengatur regulasi-regulasi sosial. Sistem diperlukan karena kompleksitas sosial masyarakat mewajibkan adanya tematisasi, sistematisasi, dan regulasi. Sistem lahir untuk memudahkan dan mengefisienkan kerja praktis sehari-hari. Rasionalitas sistem adalah rasionalitas sasaran atau rasionalitas tujuan, yakni proses menjalankan kehidupan bersama menurut tujuan-tujuan formal yang harus dicapai sesegera mungkin. Kata “sistem” merujuk pada sistem ekonomi (pasar) dan sistem politik (birokrasi). Birokrasi di sini dapat berbentuk birokrasi negara, birokrasi agama, birokrasi adat, birokrasi pengetahuan, dan lain sebagainya.

        Dalam pasar, rasionalitas tujuan yang berlaku adalah logika untung-rugi. Sesuatu akan dianggap benar-baik-indah bila mendatangkah untung. Bila sesuatu tersebut berakibat pada kerugian demi kerugian, ia dianggap salah-buruk-jelek.

        Dalam birokrasi, rasionalitas tujuan yang berlaku ialah logika menang-kalah.. Kebenaran, kebaikan, dan keindahan sesuatu selalu diukur menurut logika menang-kalah. Pemikiran dicap benar, perilaku dinilai baik, dan karyaseni dianggap indah jika dan hanya jika pemikiran, perilaku, dan karyaseni tersebut dapat mengantarkan seorang aktor politik atau sebuah kelompok politik ke podium kemenangan, ke kursi kekuasaan. Dan bila tidak bisa atau justru menjadi penghalang menuju kursi kekuasaan, artinya pemikiran tersebut mutlak salah dan haram dipelajari, perilaku tersebut sepenuhnya buruk atau amoral, dan karyaseni tersebut dianggap jelek dan perlu selekasnya dibuang ke comberan, diinjak-injak, dihancurkan, atau dibakar.

        Dengan terjadinya evolusi sosial sedemikian rupa, idealnya terjadi pula diferensiasi “yang sehat” antara sistem dan duniakehidupan. Diferensiasi yang sehat ini menyediakan ruang dialektika antara sistem dan duniakehidupan, antara rasionalitas tujuan dan rasionalitas komunikatif. Sistem dan duniakehidupan pun mampu berkembang bersama, saling berkaitan, saling kritik, dan saling membangun.

        Akan tetapi, pada kenyataannya situasi demikian tidak pernah terjadi, lebih-lebih ketika modernitas bangkit, menggejala, dan menyeruak seperti yang sedang kita alami saat ini. Sistem berkembang lebih pesat, sedang duniakehidupan semakin kecil dan lemah. Akibatnya, dunia kehidupan tidak imun dari kolonialisasi sistem. Logika menang-kalah dan untung-rugi pun merasuk dan meresap dalam kehidupan sehari-hari, dalam interaksi dan komunikasi harian yang paling intim sekalipun.

        Motivasi muda-mudi berkencan bukan karena cinta lagi, namun lebih disebabkan oleh uang, prestise, style atau trend, kehormatan, dan kekuasaan. Guru tidak mengajar karena alasan kemanusiaan, demokrasi, dan cita-cita ideal lainnya. Ia mengajar demi uang dan tujuan-tujuan politis belaka. Kyai berceramah bukan untuk berdakwah secara murni dan tulus, tetapi terutama untuk mendapatkan honorarium dan penghargaan sosial. Partai didirikan hanya sebagai mesin mobilisasi massa, suara, dan dana. Partai tidak lagi didirikan sebagai alat demokratisasi, penjaring suara rakyat, dan pendorong kesejahteraan rakyat. Pemilu dihelat tidak dalam rangka memilih presiden yang bermoral, berkapasitas, dan menjunjung tinggi mandat rakyat, namun pemilu malah berfungsi sebagai ajang bisnis politik dan bagi-bagi kursi saja. BUMN seperti PLN dan Semen Gresik dijalankan tidak untuk memberi kemudahan dan keringanan ekonomis bagi rakyat, justru keduanya dikelola hanya untuk melayani kepentingan bisnis dan politik. Orang menulis sajak cuma untuk popularitas, pengakuan kebudayaan, dan royalti. Tujuan penulisan sajak tak lagi untuk mempertinggi peradaban dan kebudayaan serta membumikan demokrasi hakiki, kemanusiaan, dan ketuhanan. Universitas dibangun sebagai tempat menjual-belikan ijazah dan pengetahuan atau tempat memupuk modal politik kelompok tertentu. Fungsi universitas bukan sebagai lembaga pedagogis yang melaksanakan tri darma perguruan tinggi lagi. Dan daftar kolonialisasi sistem terhadap dunia kehidupan ini masih sangat dapat diperpanjang lagi. Rasionalitas tujuan atau rasionalitas sasaran pun berjaya, sedang rasionalitas komunikatif pelan-pelan terkubur dalam masa lalu.


        Rasionalitas Sasaran Media

        Demikianlah, dalam konteks Indonesia sekarang, sistem dan dunia kehidupan tidak pernah saling berakaitan, saling sinergi, dan saling membangun secara dialektis. Rasionalitas komunikatif diganti menjadi rasionalitas sasaran.

        Persoalan ini mengisyaratkan bahwa hadirnya media di Indonesia benar-benar berlandas pada rasionalitas sasaran. Terdapat relasi kuasa dan relasi ekonomi yang akut dalam komunikasi publik yang digawangi oleh media. Dalam situasi semacam ini, industri media berperan sebagai produsen yang super-aktif sedangkan penonton berperan hanya sebagai konsumen informasi yang pasif. Maka tampaklah bahwa media hanya berbicara keuntungan atau profit tanpa pernah berpikir membangun karakter (character building) dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan lebih parahnya lagi kini bertaburan program-program siaran yang menjadi alat pembodohan massal bagi masyarakat, seperti sinetron cinta picisan, horor, reality show, infotainment, ajang pencari bintang dan masih banyak lagi. Setting-an pemodal benar-benar menciptakan fragmentasi dan konflik sosial.

        Jelaslah, karna dilatar belakangi “logika produktif”, media melakukan pemerkosaan terhadap masyarakat yang umumnya tidak memiliki cukup pendidikan media guna menangkal distorsi komunikasi yang sengaja dilancarkan oleh industri media. Mestinya tidak semua institusi media menyerahkan dirinya mengikuti perintah bisnis (pasar) dan idiologisasi (birokrasi).

        Kita mesti mendefenisikan ulang kata perintah bisnis dan idiologisasi. Perintah bisnis bersumber dari hasrat akumulasi kapital dan kapital jelas tak mau rugi. Kemudian kata idiologisasi; dalam konteks komunikasi publik di mana media memainkan perannya, pihak yang mengideologisasi ialah birokrasi. Dan birokrasi di sini karena mempraktikkan rasionalitas sasaran maka sudah sewajarnya bermakna negatif, yakni pemerintah yang korup.

Regulasi Media

        Lalu, bagaimana komunikasi paublik yang sehat akan berlangsung jika pasar dan negara memaksakan kepentingan masing dalam proses komunikasi tersebut, dalam tubuh institusi media? Tragisnya, untuk mencapai terealisasinya tiap kepentingan itu, pelbagai cara pun dilakukan tanpa melihat efek yang akan ditimbulkan dari kepentingan-kepentingan tersebut. Bagaimana pula sebuah regulasi komunikasi publik yang bersendi demokrasi dan character building akan tercipta bila baik negara maupun pasar masih mengintervensi dan memasukkan kepentingan masing-masing pada segala aspek pembahasan dari regulasi tersebut? Regulasi seperti ini perlu agar institusi media dengan sepenuh hati menjalankan tugasnya sebagai pilar demokrasi dan pendidikan bagi masyarakat, tedak terus-menerus menayangkan acara reality-show, infotainment, dan sinetron murahan yang merugikan masyarakat.

        Seharusnya beberapa aspek yang dibahas dalam proses pembentukan regulasi media dan penyiaran diserahkan pada masyarakat. Masyarakat, oleh karena itu, mutlak diberi ruang publik untuk saling berbincang meyusun formasi diskursus tentang regulasi media dan penyiaran yang ideal, yang tidak merugikan masyarakat itu sendiri. Jika regulasi media dan penyiaran dibuat melalui proses seperti ini, regulasi tersebut akan mendapat legitimasi yang kokoh dari masyarakat. Media pun akan sungguh-sungguh hadir membangun komunikasi publik yang demokratis dan tanpa distorsi, media patuh pada rasionalitas komunikatif karena selalu dipantau oleh masyarakat. Dan keadaan media tidak akan melulu menayangkan program figurasi, reality-show, dan talk-show yang sangat menghamba pada pasar dan birokrasi seperti saat ini.

        Persoalan marketisasi dan politisasi media ini memang sukar diatasi. Tetapi kesukaran ini tidak malah menjadikan kita menghindari dan bersikap apatis terhadap hal itu. Mencari jalan ke luar dari persoalan mediatik ini adalah tugas wajib kita bersama. Bukankah kita seringkali mendengar pepatah seperti ini: Di mano titik, di sano ditampung. Di mano patah, di sano disisip. Di mano terbit, di sano dituai. Jadi, tampaknya tak perlu terlalu merisaukan persoalan yang sedang dan bakal terjadi. Orang hidup selalu menghadapi persoalan. Namun, segala persoalan bukan untuk dihindari tetapi untuk diatasi.

          Oleh: Azkan**
        *Tulisan ini, dalam versi sedikit berbeda, dengan judul “Rasionalitas ‘Minta Tolong’”, pernah dimuat dalam Buletin Swarnabhumi Edisi I.

        **Mahasiswa Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, anggota Kamanjayo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar