Kamis, 07 Juli 2011

Antara Diktat dan Sajak

ANJING dan kucing, seperti sastra dan sains, tidak pernah berkencan bersama dan tidak henti-hentinya bersicakar. Cara pandang mereka terhadap sebuah fenomena selalu bertolak-belakang. Si anjing tengok kanan, si kucing tengok kiri. Sastra menghadap ke bawah, sains menghadap ke atas. Tapi apa benar demikian?


        Momen Perpisahan

        Bertrand Russell, filusuf bahasa dar
i Inggris, melihat adanya ketakakuran abadi antara sastra dan sains. Keduanya memiliki ruang sendiri-sendiri dan jenis kebenaran sendiri-sendiri.

        Sementara sains berambisi mencari kebenaran objektif dan transendental, sastra mencukupkan diri menerima kebenaran subjektif dan imanen. Sains berupaya mengubah tatanan masyarakat dalam frenkuensi mondial. Sastra, sebaliknya, lebih suka mengusahakan, meminjam Karl R. Popper, a piecemeal transformation, perubahan cara berpikir masyarakat sepotong-sepotong saja.

        Malah ada kelompok sastra, seperti kaum Simbolisme P
erancis, yang dengan semboyan l’art pour l’art, memimilih menghindari segala pretensi untuk mengubah masyarakat. Sastra, bagi mereka, adalah semacam kemabukan personal yang berfungsi menjaga kelestarian kehidupan imajinasi, utopia, dan harapan.

        Yang lebih ekstrem lagi, mereka menolak segala bentuk fungsionalisme dan kehendak. Bersastra, menulis puisi, adalah tindak yang tanpa tujuan, tidak teleologis. Sebaliknya, sains, dengan karakter progresivitas historisnya, menggunakan analisis kausalitas dalam memandang suatu fenomena, dan karena itu, bertendensi merancang rencana dan tujuan yang pasti. Sains adalah Descartes. Sastra adalah Shakespeare.

        Untuk memahami beda antara sains dan sastra, kita juga dapat meminjam kategorisasi ilmu Wilhelm Dilthey, neokantianis Jerman yang sangat mempengaruhi perkembangan eksistensialisme. Dilthey membagi ilmu menjadi dua: ilmu pengetahuan alam (naturwissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (geisteswissenschaften).

        Ilmu pengetahuan alam berwatak nomothetic. Ia bermaksud merumuskan hukum-hukum umum yang objektif, universal, dan pasti. Ilmu pengetahuan alam ini lebih kita kenal sebagai sains. Contoh paling jelas dari naturwissenschaften adalah fisika dan biologi.

        Sementara itu, di sisi lain, ilmu pengetahuan budaya berwatak idiographic. Objek kajiannya adalah apa yang disebut Edmund Husserl sebagai lebenswelt, duniakehidupan. Dalam duniakehidupan, yang berlangsung adalah peristiwa-peristiwa partikular kongkrit dengan keunikannya sendiri-sendiri. Peristiwa tersebut hanya terjadi sekali, tidak bisa terulang atau diulang kembali.

        Bila ilmu pengetahuan alam berusaha menemukan keumuman, objektivitas, universalitas, dan kepastian, maka ilmu pengetahuan budaya berorientasi sebaliknya: memahami keunikan, individualitas, partikularitas, dan ketakterdugaan.

        Karena memiliki orientasi berbeda, sains (naturwissenschaften) dan sastra (geisteswissenschaften) sudah barang tentu juga memiliki metode pengenalan yang berbeda. Metode sains adalah erklaeren (menjelaskan), dengan analisis kausalitas, jadi lebih bersifat telelologis dan linear. Metode sastra adalah verstehen (memahami), intensif membuka diri untuk memahami subjek lain, jadi lebih bersifat fenomenologis. Tidak heran bila verstehen nantinya menjadi cikal bakal metodis bagi hermeneutika, seni menafsirkan teks.

        Dengan demikian, sejatinya, ilmu pengetahuan budaya adalah ranah sastra. Rilke, Chairil Anwar, Tagore, untuk menyebut beberapa nama, adalah mereka yang suntuk menekuni merenungi duniakehidupan, yang sibuk mengkaji geisteswissenschaften, yang mau repot-repot secara intensif membuka diri untuk memahami subjek lain. Bahkan, dengan eksplisit, dalam “Di Dunia Ini, Aku Harus Sendiri, tapi Tak Sendiri”, Rilke menulis: Ku mau cerminkan rupamu seluruh / Tak pernah buta atau terlalu tua / Menjaga goyang bayangmu yang wahai / Ku mau tersingkap. Chairil Anwar, dalam “Do’a”, puisi mistikal yang ia gubah pada pada 13 November 1943, juga menulis: Tuhanku / Dalam termangu / Aku masih menyebut namamu // Biar susah sungguh / mengingat Kau seluruh.

        Beda antara sains dan sastra akan semakin tampak bila kita memperhatikan dampak sehari-hari dari keduanya. Proponen sains, profesor fisika yang tidak suka seni misalnya, akan cenderung berpikir teleologis dan objektif. Ia mengejar cita-cita yang pasti, bisa dikuantifisir dan dimatrikulasikan, serta kerap menghindari bahaya yang mungkin akan merugikan eksistensi pribadinya. Tapi model berpikir profesor ini sebenarnya mengandung banyak kelemahan, di antaranya ia akan susah memahami isi hati orang lain, dan perilakunya akan cenderung tertutup dan elit. Karena karakter sains selalu mencari hukum-hukum universal, si profesor akan kurang menghargai keunikan individu per individu, dan sebab itu, sulit menerima perbedaan. Maka wajar, bila terkadang kita menemukan profesor yang sulit diajak berinteraksi, killer, kurang memperhatikan mahasiswanya satu demi satu. Sementara itu, di pihak lain, penyair sebagai proponen sastra, lebih lentur dan dinamis dalam berpikir, dengan mudah memahami perasaan orang lain, dan lebih mampu bersikap demokratis. Ia memperlakukan orang lain sebagai subjek yang hidup, sebagai manusia yang unik dan berbakat khas.

        Jadi, ada jarak yang jauh antara cara berpikir si profesor dan cara berpikir si penyair, antara dunia diktat dan dunia sajak. Namun, apa akan selalu demikian?


        Momen Perjumpaan

        Tidak juga. Ternyata banyak profesor yang mahir berpikir literer. Diktat dan sajak pada dasarnya memang berbeda, tetapi bukan tidak mungkin dijalin dialog antarkeduanya.

        Heidegger, eksistensialis Jerman yang pada 1933 diangkat menjadi rektor Universitas Freiburg, sangat meyukai puisi. Bahkan puisi adalah inspirasi bagi telaah saintifknya. Ada dan Waktu, karyatama “ilmiah” Heidegger, menyodorkan puisi sebagai satu-satunya perangkat yang dapat membawa manusia pada kemerdekaannya, pada eksitensinya yang paling otentik. Objek kajian “ilmiah” Heidegger sendiri adalah lebenswelt, duniakehidupan, di mana manusia merasakan cinta dan kash sayang, harapan dan putus asa.

        Sama seperti Heidegger, Kuntowijoyo, Abdul Hadi W.M., Toety Herati, walau bergelar profesor, mereka sangat cakap berpikir literer. Mereka mudah saja mendialogkan antara sains dan sastra, sebab justru keduanya perlu saling dukung-mendukung.

        Jadi, meski berbeda ruang dan metode, sains dan sastra tidak harus selalu berpisah. Sains dan sastra memang bagai anjing dan kuncing, tapi toh mereka dapat sesekali berkencan bersama, berciuman mesra, bersenggama….

        Jogja, 7 Maret 2011
          Oleh: Widodo*
        *Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab (PBA) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, anggota Keluarga MAN Model Jambi-Yogyakarta (Kamanjayo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar